Thursday, 25 September 2014

Jakarta Repose Project #8 #SpecialInformant

"Golf is a closest game to the game we called Life. You get bad breaks from good shots, you get good breaks from bad shots, but you have to play the ball where it lays." - Bobby Jones

Pak Robby Poniman
65 years old
Special Informant

Sebagai seorang Faculty Member senior di Prasetiya Mulya, Pak Robby Poniman menghabiskan lima hari dalam satu minggunya untuk mengajar di dua kampus, yaitu Prasetiya Mulya Cilandak untuk program S2 dan Prasetiya Mulya BSD untuk program S1. Dengan kesibukan yang masih tetap padat dan produktif di usianya yang sudah tidak lagi muda, Pak Robby mengaku sangat menikmati profesinya tersebut. Dosen yang sudah bergabung di Prasetiya Mulya sejak tahun 1985 karena di perintah oleh Tuhan ini sebelumnya mengendalikan dua perusahaan yaitu perusahaan periklanan dan perusahaan pemasaran. Bahkan sampai sekarang, ia masih memiliki sampingan untuk menangangi perusahaan Essensa. Sebagai mantan Wirausahawan, ia menganggap kedua profesi tersebut sama-sama dinikmatinya, tidak ada yang lebih buruk atau lebih baik, karena ia menjalanin keduanya dengan hati yang senang.

Saat memiliki waktu senggang dari aktivitasnya yang padat, Pak Robby selalu memilih lapangan golf sebagai tempat refreshing-nya. Olahraga golf diakuinya adalah satu-satunya olahraga yang masih ia tekuni, setelah ia berhenti dari olahraga bowling yang sebelumnya telah membuatnya berhenti dari olahraga volley, basket, sepak bola, dan badminton. Golf merupakan jenis olahraga yang telah menyita perhatiannya sejak tahun 1976 dan dinilainya sebagai cabang olahraga yang paling rumit yang pernah ditekuninya, dari segi teknis dan segala aspeknya, golf memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Pak Robby terus mempelajarinya, bahkan hingga kini.

“Aku gak pernah marah di lapangan golf, kolega aku sering tanya kenapa aku selalu terlihat senang di lapangan golf. Aku suka golf, aku main dengan hati senang, walaupun bolanya gak masuk, aku tetep seneng gimana dong.” ujar Pak Robby yang mengaku tidak memiliki pengalaman buruk di cabang olahraga ini. Pak Robby pun mengakui setiap kegiatan yang ia lakukan di lapangan golf merupakan pengalaman yang paling memorable baginya. Jujur dikatakan Pak Robby bahwa orang yang pertama kali menyuruhnya menekuni olahraga ini adalah ayahnya sendiri. Ayah dari Pak Robby merasa golf merupakan aktivitas positif yang dapat ditekuni oleh anaknya dan terhindar dari pergaulan yang negatif. Hingga saat ini Pak Robby menjadi anggota dari Jakarta Golf Club dan ia dapat menghabiskan waktunya untuk golf sekitar 1-4 kali dalam seminggu di lapangan golf BSD dan Pantai Indah Kapuk.

Jadwal mengajarnya yang semakin padat membuatnya tidak dapat melakukan aktivitas golfnya seperti dulu. Sekarang ini Pak Robby hanya dapat bermain golf ketika hari minggu siang. Hal ini dikarenakan keluarga tetap menjadi prioritasnya, ia juga selalu meluangkan waktunya setiap hari sabtu untuk sekedar berkumpul bersama istri, anak, dan menantunya. Sementara untuk pergi bersama keluarga, biasanya ia memilih pergi ke mall karena menurutnya di Mall lebih tersedia banyak pilihan kafe dan tempat lain selain kafe.

Pak Robby yang tahun ini genap berusia 65 tahun ini ternyata pernah vacum dari dunia golf selama 11 tahun karena alasan kesehatan yang kurang baik. Namun takdir berkata lain, setelah sekian lama absen dari dunia golf, ia pun kembali bermain golf karena ajakan dari temannya. Pak Robby mengaku di usianya yang sudah tidak muda lagi, ia sudah tidak pernah lagi mengikuti turnamen yang selalu dilakukannya dahulu. Ia hanya bermain jika ‘dijebak’ oleh teman-temannya dan berpartisipasi dalam turnamen-turnamen yang diselenggarakan oleh Prasetiya Mulya. Berbeda dengan Pak Robby, kedua anak laki-lakinya ternyata tidak memiliki kecintaan yang sama dibidang golf, mereka menguasai cabang olahraganya masing-masing yaitu Taekwondo dan Renang, bahkan beberapa kali mewakili Indonesia sebagai Atlet Nasional.

Pak Robby sendiri yang sampai sekarang telah mengumpulkan piala dan piagam yang tidak terhitung banyaknya dibidang olahraga inipun menyayangkan karena tidak adanya sarana yang dapat menunjang kecintaanya terhadap golf di daerah domisilinya yaitu Jakarta Barat. Hal ini menyebabkan ia harus menempuh perjalanan yang tidak sebentar untuk mencapai tempat berlatih golf-nya. “Untuk melaksanakan segala sesuatu yang kamu senangi jarak jauhpun akan dilakoni kan?” Kata Pak Robby menanggapi jarak jauh yang harus dihadapinya setiap minggu ini. Seperti jarak yang tidak menjadi halangan baginya, biaya yang tidak sedikit untuk setiap permainan golf-nya juga tidaklah dinilainya menjadi masalah, ia tidak pernah memiliki budget tersendiri untuk golf. “Mengalir begitu aja, berkat dari Tuhan melimpah kok.” Sambungnya terkekeh.

Pak Robby yang sempat mengalami keracunan MSG ini, dikenal sebagai sosok dosen yang selalu mengkonsumsi kopi setiap kali ia mengajar. “Kopi itu sehat, teh itu lebih ganas. Kopi akan baik kalau diminum tanpa gula dan tanpa krimer, tapi itupun maksimum 3-4 cangkir sehari, gak boleh lebih. Segala sesuatunya kan kalau kita konsumsi berlebihan pasti akan gak baik buat kesehatan." Jelasnya. Mengkonsumsi kopi digambarkan oleh Pak Robby sama sekali berbeda dengan mengonsumsi air putih atau jus. Memulai kebiasaan minum kopinya sejak masih bersekolah di Amerika ini membuatnya menyadari bahwa kopi ternyata memiliki daya tarik tersendiri, dari wanginya, rasanya, semua itu membuat Pak Robby akhirnya meneruskan kebiasaannya itu sampai sekarang. Menurutnya, bahkan kopi sebenarnya tidak memiliki efek-membuat-tenang ataupun efek-mencegah-kantuk seperti yang diyakini kebanyakan orang, tapi ia tetap menyukai kopi dan menenteng cup kopinya setiap kali ia mengajar.

Pak Robby beranggapan bahwa di Jakarta sendiri memiliki begitu banyak objek wisata yang beragam seperti pusat perbelanjaan yang ‘tua’ dan ‘khas Indonesia’, museum, dan masih banyak lagi, namun pemerintah kurang berusaha untuk mengembangkannya. Kebun Binatang Ragunan menurut Pak Robby adalah salah satu contoh dari tempat yang kurang diurus oleh pemerintah, padahal  objek wisata tersebut merupakan asset yang menguntungkan bagi Indonesia sendiri. Meskipun diakuinya bahwa beberapa perubahan positif sudah dilakukan oleh pemerintah Jakarta, seperti dibentuknya taman-taman yang open-public untuk masyarakat lokal, namun dengan kondisi Jakarta seperti sekarang ini, Pak Robby menyarankan agar setiap acara yang dilakukan harus berurusan dan bekerjasama dengan Pemda DKI, agar terintegrasi antara pemerintah dengan proyek swasta, agar pengembangan Jakarta menjadi lebih baik didukung oleh segala pihak.

Harapan Pak Robby untuk anak-anak muda Jaman sekarang terutama mahasiswa-mahasiswi Prasetiya Mulya adalah untuk menjauhi judi, narkoba, dan pelacuran. Hal lain seperti tipikal bersenang-senang anak muda kini menurutnya tidak masalah, tetapi tiga hal tadi menurutnya merupakan hal paling crucial yang jangan sampai disentuh dan menyesal nantinya. Karena pengalaman menyenangkan selama menjadi dosen baginya adalah saat melihat hasil didikannya berhasil, menjadi tokoh masyarakat, dan menjadi orang yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain.



Created by:
Lady Andrea, Ilona Dea, & Gitta Yunanda


 And special thanks to our respected Faculty Member, Mr. Robby Poniman, who gives us an honor to find out more about his leisure time.

Within this post, #JakartaReposeProject informants,
Completed!

Jakarta Repose Project #7

"Music is what feelings sound like." - Unknown


Cindy Clementine
32 years old
7th Informant

Menjadi seorang Musisi yang memegang biola sebagai tanggung jawabnya tentunya bukanlah hal yang dapat dilakukan oleh semua orang, namun hal ini ternyata sudah ditekuni oleh Cindy Clementine sejak usia 15 tahun. Mengaku mendapatkan darah pemusik dari ibunya, Cindy yang kini telah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan ini terus berpartisipasi dalam event-event musical hingga saat ini. “Kalau lagi ada event latihannya bisa seminggu full, tapi kalau lagi kosong ya bisa santai, paling seminggu sekali aja ngajar.” Jelas wanita 32 tahun  yang selalu menyempatkan diri untuk memiliki waktu luang bersama keluarga maupun teman-temannya ini sambil tersenyum. “Harus di ada-adain, karena aku punya anak juga kan, jadi kalau aku gak punya waktu santai itu bisa stress. Entah itu satu dua jam doang, sekedar nyalon atau pergi sama temen, pokoknya ada.”

Pecinta segala jenis musik ini beranggapan bahwa berkeluarga tidaklah menjadi hambatan untuk tetap menjalani karirnya di dunia musik. “Tetep bisa kerja, tapi ya prioritas utama tetep keluarga. Pinter-pinter bagi waktu dan balance in diri aja sih.” Ungkapnya. Sempat vakum dari dunia musik selama beberapa bulan setelah melahirkan, Cindy mengaku ada perasaan kangen dan ingin kembali bermain biola, karena Cindy sendiri merupakan tipe ibu rumah tangga yang tidak suka berdiam dirumah, beberapa bulan kemudian ia sudah kembali aktif dalam setiap aktivitas musiknya seperti biasa. Tidak hanya mahir dalam memainkan biolanya, Cindy juga kerap kali menciptakan instrument sendiri bagi permainannya. Instrumen-instrumen ini diciptakannya berdasarkan pengalaman orang-orang disekitarnya dan segala sesuatu yang ia lihat. Cindy juga mengaku sering mendapatkan inspirasi dari tempat-tempat yang ia kunjungi, meskipun ia tidak pernah secara khusus pergi ke suatu tempat untuk mencari inspirasi.

Di dalam Jakarta sendiri, mall sampai kini masih merupakan tujuan utamanya saat memiliki waktu senggang, disamping karena anaknya yang masih berusia dua tahun masih membutuhakan perhatian ekstra diluar rumah, menurutnya mall memiliki segala sesuatu yang dibutuhkannya. Diluar mall, ia memilih konser musik sebagai tujuan lainnya. Sebagai musisi yang bahkan terlibat dalam konser Laskar Pelangi di Belitong, ia membutuhkan banyak 'asupan musik' dari pemusik-pemusik luar maupun dalam negeri. Ia banyak mendapatkan referensi musik dari konser-konser yang didatanginya. Cindy seringkali mengajak putrinya saat mendatangi atau mengisi acara musik, dan menurutnya jika keadaan dan situasi mendukung, mengajak anak kecil tidaklah menjadi halangan untuknya.

Selain musik, hal lain yang disukainya adalah kopi. Cindy yang telah menjelajah ke berbagai coffee shop ini mengaku puas dengan banyaknya coffee shop yang dibuka di Jakarta, baik di luar maupun di dalam mall. “Kopi itu beda, kalau orang yang suka kopi pasti tau, di lidah itu berasa.” Kata Cindy menjelaskan. Meskipun begitu, Cindy sendiri tidak memiliki kopi wajib yang harus dicobanya di setiap coffee shop, ia lebih memilih randomize, agar ia dapat mengetahui jenis-jenis kopi lain yang bisa jadi cocok dilidahnya. Saat menjelajah coffee shop ini, Cindy seringkali membawa putrinya, namun sayangnya terkadang masih banyak coffee shop yang tidak memiliki sarana penunjang untuk anak balita, seperti masih banyaknya yang tidak menyediakan non-smoking area, sehingga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Cindy untuk membawa putrinya, padahal putrinya tersebut juga mulai menyukai kopi dan senang diajak ke coffee shop.

Bagi Cindy, ia harus semakin pintar memilah-milah genre konser musik untuk dapat mengikut-sertakan putrinya, karena beberapa genre musik dinilainya terlalu berisik untuk putrinya. “Tapi itusih yang kurang dari Jakarta, orang-orangnya selalu ikut-ikutan kalau soal musik, misalnya satu genre lagi nge boom, semuanya suka, yang lain ditinggal, jadi kan konsernya juga cenderung itu-itu aja.” Keluh Cindy. Ia menganggap masyarakat Jakarta belum memiliki pengetahuan yang luas tentang musik, sehingga ikut saja ke setiap genre musik yang sedang hits“Harapan akusih semoga pengetahuan musiknya diperluas, soalnya musik itu luas, banyak banget genrenya gak cuma satu-dua yang lagi ngetren sekarang ini.”

Sebagai musisi, ia melihat bahwa Jakarta belum memiliki banyak tempat konser yang memadai, misalnya seperti dilihat di luar negeri, panggung konsernya benar-benar megah dan mendukung para pemusik, latarnya dapat berganti-ganti, panggungnya dapat berputar dan berganti dalam sekejap mata, hal-hal itu yang belum banyak ada di Jakarta. Padahal melihat banyaknya pecinta musik, itu merupakan asset yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi sebuah konser.

Java Jazz Festival menurutnya adalah salah satu dari perkembangan baik yang sudah terjadi dalam dunia musik Indonesia. Karena dalam Java Jazz ada banyak pemusik-pemusik luar yang berkolaborasi, dan bahkan tidak semuanya satu genre karena bahkan ada Agnes Monica dan Raisa yang juga terlibat. “Itu bisa jadi daya tarik buat orang-orang dari berbagai genre juga.” Tuturnya. Genre musik yang begitu banyaknya menjadi concern tersendiri bagi Cindy, karena di Jakarta sendiri kini belum banyak memiliki event musik dengan perpaduan beberapa genre. Ia mengusulkan agar dapat diadakannya konser musik dengan beberapa genre sekaligus, agar penonton yang datang juga dapat berasal dari penikmat musik dari banyak genre, dan penonton yang belum memiliki banyak pengetahuan tentang musik dapat mempelajari genre-genre musik lain yang sebenarnya juga menarik.

Dengan adanya pengembangan-pengembangan ini, Cindy berharap masyarakat lokal dapat menaruh perhatian lebih terhadap musik, dan dapat memiliki preference nya sendiri terhadap musik, karena musik yang begitu luas akan sangat sayang untuk dibuang percuma hanya untuk ikut-ikutan dengan tren yang sedang berkembang saat ini.



Written by:
Lady Andrea

Tuesday, 23 September 2014

Jakarta Repose Project #6

"When in doubt, travel." - Unknown


Chelsy Suwardy
24 years old
6th Informant

Memulai karir barunya di dunia Food Online Business, Chelsy Suwardy memutuskan untuk kembali menetap di Jakarta setelah beberapa tahun bekerja di Kepulauan Dewata. Wanita yang biasa di sapa Chelsy ini memutuskan untuk merambah dunia Food Online karena ‘iseng-iseng berhadiah’nya di dunia baking ternyata mendapatkan respon positif dari orang-orang di sekitarnya. Setiap jenis dessert yang di buatnya dan dicicipi oleh teman-temannya juga mendapatkan komentar-komentar yang bagus, dengan berbekal keyakinan inilah Chelsy mulai menjadikan hal yang sebenarnya diakui bukanlah hobinya ini sebagai bisnisnya. “Gak hobi juga sih, aku malah hobinya travelling hehehe..” Akunya. Karena hobi yang sedikit berbeda dari jenis pekerjaannya itulah ia kebanyakan menghabiskan waktu luangnya untuk pergi melihat alam terbuka dibandingkan dengan menggeluti dapur untuk membuat menu baru.

Bali itu paradise buat aku, bahkan sampai sekarang udah gak di Bali lagi juga aku tetep menganggap Bali the best, aset lah buat Indonesia.” Cerita Chelsy. Selain Bali, Chelsy juga menambahkan Gili Trawangan sebagai tempat wisata yang paling berkesan baginya. Gili Trawangan sendiri merupakan pantai yang berada di Lombok, Indonesia Timur. Pantai ini memang kini belum mendapatkan sorotan sebesar Bali, namun keindahannya sebenarnya tidak kalah dari Bali dengan airnya yang masih biru kehijau-hijauan dan suasananya yang masih pure nature. “Gak banyak yang bisa dilakuin disana karena pulaunya juga kecil, tapi disana relaxing banget, suasana yang bahkan gak bisa didapetin di Bali, pokoknya quick getaway yang paling berkesan menurut aku ya Gili Trawangan.” Tutur wanita yang tahun ini genap berusia 24 tahun ini menjelaskan.

Dua kali berkunjung ke Gili Trawangan diakui Chelsy belum cukup baginya, meskipun harus dua kali naik kendaraan yang berbeda yaitu pesawat dan kapal laut, Chelsy mengaku tidak kapok sama sekali. “Buat aku sih gak masalah, karena worth it kok terbayar, buat sesuatu yang bagus, kenapa enggak?” Ujarnya mantap.

“Jakarta itu oke, tapi terlalu metropolitan ya buat aku yang pecinta nature, makanya aku lebih milih quick getaway diluar Jakarta.” Begitu yang dikatakan oleh Chelsy ketika diperhadapkan pada Jakarta. “Mungkin gara-gara aku lahir dan besar disini sih ya, tapi sebenernya aku juga suka museum. Tapi berhubung temen-temen gak ada yang suka, ujung-ujungnya ya mall lagi mall lagi.” Sambungnya. Chelsy yang menyebutkan bahwa ia pernah mengunjungi Museum Fatahillah dan Museum Gajah ini berpendapat bahwa Museum Gajah sebenarnya sudah bagus dan harga tiketnya juga relatif murah, namun warisan budaya ini dinilainya kurang dilestarikan oleh pemerintah. Banyak coretan dan sampah menurut Chelsy adalah masalah utama dari museum-museum di Jakarta yang seharusnya dapat menyumbangkan devisa terbesar bagi negara.

Berdomisi di daerah Jakarta Utara ternyata tidak membuat Chelsy menyukai Ancol, tempat rekreasi ini dinilainya bagus, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta sendiri. Satu-satunya hal menarik dari Ancol adalah Dufan. Pantai Ancol pun di nilai sebagai pantai yang suasananya jauh berbeda dari pantai-pantai lainnya. Tentunya bagi pecinta pantai seperti Chelsy, standar yang ia harapkan dari sebuah pantai berbeda dengan standar yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak begitu menyukai pantai. “Orang Jakarta juga kalau tahun ini udah pergi ke Dufan, belum tentu tahun depan bakal ke Dufan lagi. Mungkin Dufan bisa attractive-nya buat orang-orang diluar daerah.” Cetusnya.

Chelsy melihat bahwa masih banyak aspek yang dapat di perbaiki dari Jakarta, seperti macet dan banjir. “Jakarta punya semuanya, tapi semuanya ada di mall. Jadi ya muter-muternya mall lagi mall lagi kayak yang tadi aku bilang.” Chelsy sendiri melihat bahwa acara kebudayaan cenderung jarang ditemuinya ada di Jakarta. Ia juga melihat bahwa orang-orang Jakarta sendiri kurang tertarik pada kebudayaan lokal, melihat ketertarikan anak muda yang terpengaruh globalisasi, Chelsy menyarankan agar tarian-tarian dan kesenian Jakarta di gabungkan dengan tarian kontemporer agar dapat menarik perhatian. Selain itu, melihat daya tarik mall yang merupakan one-stop-entertaiment bagi orang-orang yang tidak mau berpindah-pindah tempat, Chelsy juga mengusulkan adanya hal-hal lain yang ditunjukkan saat acara kebudayaan, sehingga tidak hanya untuk menyaksikan acara kebudayaan, orang-orang juga tertarik untuk melihat hal-hal yang lain.


Chelsy juga menganggap bahwa akses menuju suatu tempat sangatlah penting, karena ia seringkali menerima penutupan jalan karena adanya acara-acara tertentu. Ia menganggap hal tersebut tidaklah bijak karena itu akan menyusahkan pihak-pihak lain. “Mungkin acaranya menarik, tapi kalau nutup jalan, Jakarta yang udah numpuk ini mau digimanain lagi. Kalau bisa harus ada satu waktu dan tempat yang cocok untuk acara tersebut, yang jelas punya akses sendiri dan gak ngerugiin pihak-pihak lain juga.”  Tutup Chelsy yang berharap semua fasilitas yang ada di Jakarta akan di upgrade dan dapat memuaskan masyarakat dari berbagai kalangan suatu hari nanti.

Monday, 22 September 2014

Jakarta Repose Project #5

"At the beach, life is different. Time doesn't move hour to hour, but mood to moment. We live by the currents, plan by the tides, and follow the sun." - Unknown


Winner Firmansyah
25 years old
5th Informant

Bekerja di sebuah Multinational Company, Winner Firmansyah atau yang biasa di sapa Winner praktisnya menghabiskan lebih dari dua pertiga harinya di luar rumah. Terlebih karena jarak antara rumah dan kantornya yang cukup jauh dan harus menempuh kemacetan daerah Setiabudi, ia hampir tidak pernah langsung pulang ke rumah setelah pekerjaannya usai. Namun sebagai pecinta travelling yang menghabiskan hampir setiap waktu liburannya untuk berjalan-jalan, tentunya ia memiliki segudang cara untuk mengakali waktu luangnya yang sempit itu menjadi kesempatan berharga untuk melepas kejenuhan dengan refreshing ke tempat-tempat yang ia sukai.

Sejauh ini, pria berusia 25 tahun ini sudah cukup banyak menjelajahi daerah-daerah dengan keunggulan alamnya, terutama di dalam negeri, seperti Ambon, Bali, dan pulau-pulau lainnya. Selain karena suasana yang jelas berbeda dengan Jakarta, Winner memilih pulau-pulau tersebut karena ia mengaku sangat tertarik dengan pantai. “Di pantai itu kita bisa ngelakuin hal-hal baru, ngeliat penangkaran penyu, snorkeling, diving.” Jelasnya. Pulau-pulau seperti Ambon yang kurang banyak diketahui keindahan pantainya justru merupakan salah satu pulau terindah menurut Winner, karena Pantai Liang, salah satu pantai yang ia kunjungi di Ambon memiliki air yang masih biru, pemandangan alam yang masih belum terjamah polusi, dan kondisi yang masih terawat. Di dalam Jakarta sendiri, Winner menyebutkan bahwa ia pernah beberapa kali berlibur ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu, dan justru menurutnya, kebanyakan pulau yang meninggalkan kesan di ingatannya adalah pulau yang belum banyak di ketahui orang, seperti contohnya Pulau Harapan yang merupakan pulau terakhir yang dikunjungi saat liburan lalu.

Winner menambahkan bahwa masyarakat lokalnya sendiri kurang dapat menjaga kualitas dari daerahnya yang sebenarnya indah dan dapat menjadi daya tarik tersendiri, kerap kali daerah-daerah indah tersebut kehilangan kualitasnya dengan berjalannya waktu. “Dateng pertama masih bagus, kedua kali okelah, kalau suka kan pasti dateng lagi tuh, eh ternyata ketiga keempat kali kualitasnya semakin menurun dan mengecewakan. Pasti lain kali jadi mikir-mikir untuk kembali lagi, biarpun bisa dibilang sebenernya suka banget sama tempatnya.”

Lamanya waktu perjalanan yang harus ia tempuh walaupun terbilang masih di dalam provinsi DKI Jakarta tidak menjadi masalah baginya, ia beberapa kali juga menggunakan kapal laut dan bahkan boat kecil yang cukup terombang-ambing di tengah laut untuk mencapai pulau-pulau kecil yang belum banyak dituju orang. “Gak jadi masalah sih, kalau udah suka banget sama tempatnya, apapun cara buat kesana akan dilakonin.” Ungkap Winner yang sekaligus menjelaskan bahwa kini budget sudah bukanlah menjadi masalah utama bagi para traveller, karena banyaknya paket-paket backpacker yang memungkinkan untuk berwisata ke tempat-tempat tertentu hanya dengan budget dibawah satu juta.

Winner yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara ini mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang yang Family Oriented, sehingga saat ia memiliki waktu luang di Jakarta saat akhir pekan atau saat libur tanggal merah, ia selalu menghabiskan waktunya dengan keluarga. “Palingan ke mall, karena biasanya orang suka suasana mall kalau lagi sama keluarga. Itupun mall yang jaraknya masih bisa dijangkau aja, kalau jauh-jauh banget dan macet juga mikir-mikir sih, nanti malah waktunya habis di jalan.” Ujarnya. Namun Winner sendiri menyadari bahwa mall tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan, terutama untuk kebutuhan sosialisasi. “Kadang-kadang kalau di mall ngeliat orang-orangnya individual gitu jadi keinget kalau di pantai, biarpun gak kenal tapi sebelahan aja bisa jadi ngobrol dan bersosialisasi juga.”

 Winner menganggap Infrastruktur dari Jakarta sendiri sudah cukup baik di bandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tetapi karena banyaknya kendaraan bermotor, Jakarta yang sebenarnya tidak terlalu besar dan satu tempat dengan tempat yang lain seharusnya dapat dicapai dalam waktu singkat malah jadi terkesan sangat luas dan berjauhan. Hal ini jugalah yang menjadi penyebab utama ia cukup menghindari daerah Jakarta Barat karena dinilainya terlalu jauh dan menghabiskan terlalu banyak waktu di perjalanan.

Satu hal yang ia anggap lacking dari Jakarta adalah ketenangan, karena Jakarta kini dinilainya sebagai kota yang cukup menjenuhkan, terlebih karena kurangnya kesadaran dari masyarakatnya sendiri. Winner yang sebenarnya menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat outdoor kini cenderung mengurungkan niatnya karena situasi Jakarta yang tidak memungkinkan. Ia kini lebih prefer pada kegiatan-kegiatan basic mall seperti makan-jalan-nonton karena mall dapat memberikan kenyamanan yang cenderung tidak ia dapatkan di luar mall.

Harapan Winner sendiri cukup besar pada museum-museum yang ada di Jakarta, berbekal pengalamannya dan apa yang dilihatnya di luar negeri, museum merupakan penyumbang dana terbesar ke kas negara, dan Indonesia yang kaya dengan segala sejarahnya seharusnya jauh lebih unggul dalam bidang historical. “Kalau bisa diperbaiki dan di maintain rutin mungkin akan jauh lebih menarik banyak wisatawan lokal maupun luar juga sih, harusnya bukan jadi sesuatu kegiatan yang boring tapi malah exciting.”


Written by:
Lady Andrea

Sunday, 21 September 2014

Jakarta Repose Project #4

"The greatest gift you can give to your children are the roots of responsibility and the wings of independence." - Denis Waitley


Maria Cecilia Rahardja
28 years old
4th Informant

Disaat semua orang mungkin berpikiran bahwa menjadi Ibu Rumah Tangga tidaklah mudah, Maria Cecilia Rahardja justru sangat merasa enjoy dengan peran yang sudah dijalankannya selama 3 tahun itu. Wanita berusia 28 tahun ini mengaku bahwa sejak menikah, terutama sejak memiliki kedua anak, perhatiannya tercurah sepenuhnya kepada keluarga. “Paling punya waktu senggang banyak itu kalau Weekend, kalau Weekdays gak terlalu banyak ya.. itupun kalau weekend kebanyakan ngajak anak-anak main.” Ujar Lia, panggilan akrab dari Cecilia. Kedua anaknya yang masih berusia dua tahun dan satu tahun ini memang menjadi focus utama Lia sekarang ini, terlebih karena masa balita adalah masa paling rawan untuk pembentukan karakter putra-putrinya. Menyadari hal ini, Lia menghabiskan banyak waktu luangnya juga untuk kepentingan anak-anaknya.

Namun, apakah seorang ibu tidak dapat bersenang-senang? “Sebenernya aku pergi sama keluarga nginep di Bandung atau luar Jakarta lainnya gitu juga udah seneng.” Ujar Lia terkekeh, “Tapi Bandung itu favorit sih, karena keluarga aku suka kuliner dan di Bandung banyak kuliner yang enak-enak, dan factory outlet sih kalau buat aku.” Sambungnya. Lia yang masih terbilang sebagai Ibu muda ini memang mengaku menyukai Shopping dan perawatan diri. Ia sering menyempatkan dirinya di sela-sela waktu luangnya untuk sekadar pergi ke salon untuk creambath atau meni-pedi. Meskipun ia juga menyadari bahwa anak-anaknya yang belum dapat ditinggal terlalu lama mewajibkannya untuk mencari salon yang terdekat dari rumahnya yang berdomisi di Jakarta Utara ini.

Lia sendiri kebanyakan memilih untuk melakukan aktivitas di mall pada akhir pekan, alasannya tidak jauh-jauh dari kedua buah hatinya. “Habis kalau di kafe-kafe luar mall gitu susah kalau bawa anak, suasananya gak cocok. Palingan kalau lagi berdua suami aja, tapi itu juga jarang sekarang soalnya kalau ninggalin anak yang masih kecil-kecil gitu gak tenang.” Ceritanya. Dari social media, ia banyak mengetahui tentang kafe-kafe dan tempat-tempat happening di Jakarta, tetapi menyadari belum semua kafe menyediakan sarana untuk anak-anak balita, Lia kerap kali mengurungkan niatnya untuk mencoba. Untuk pemilihan mall, Lia mengaku prefer pada mall dengan banyak fasilitas bermain anak-anak, karena dengan berbekal Babysitter, Lia dan suami dapat melakukan aktivitas-aktivitas lainnya tanpa perlu khawatir akan anak-anaknya.

Lia yang menyukai tempat-tempat dingin seperti Puncak dan Bandung ini memilih Mall Kelapa Gading dan Central Park sebagai mall favoritnya, alasannya karena selain luas dan banyak yang dapat di lakukan disana, ia, suami, dan anak-anaknya juga dapat memperoleh kesenangan masing-masing di satu lokasi yang sama. Lia berpendapat bahwa di luar mall juga sebenarnya banyak tempat-tempat penitipan anak yang dapat digunakan saat ia ingin melakuka kegiatan lainnya seperti ke salon atau berbelanja, namun dengan banyaknya kasus kriminalitas yang terjadi di Jakarta terutama terhadap anak-anak kecil, Lia sendiri belum pernah dan tidak berani menggunakan jasa penitipan anak tersebut.

Kawasan Jakarta yang banyak menyediakan tempat-tempat bermain seperti Dufan dan Jungleland juga menarik perhatian Lia. Ia beberapa kali mencoba bermain ke Jungleland meskipun tempat tersebut dinilainya kurang kondusif untuk balita. “Tempatnya panas, gak banyak pohon. Buat balita susah banget juga, gak banyak permainan yang sesuai sama umur mereka.” Komentar Lia tentang Jungleland. Sementara Dufan dinilainya belum sesuai untuk usia anak-anaknya, meskipun mungkin dari sisi permainan, Dufan lebih unggul dari Jungleland. “Palingan kalau gak mall, biasanya kita main di kolam renang, soalnya anak-anak suka main air.” Tambahnya. Lokasi kolam renang yang dekat dan aman juga menjadi bahan pemikiran saat memilih tujuan berakhir pekan bersama keluarganya, terlebih karena persiapan untuk berenang dan setelah berenang akan memakan waktu yang relatif lebih panjang daripada waktu berenangnya sendiri. Lia berpendapat bahwa ia cukup puas dengan kolam-kolam renang yang ada di Jakarta, karena sejauh ini belum ada masalah apa-apa saat ia dan keluarganya pergi untuk berenang.

Terkadang, mall juga diakui Lia membosankan. Ia juga seringkali merasa membutuhkan suasana lain yang berbeda, namun karena keterbatasan perannya sebagai ibu rumah tangga hal itu belum dapat terwujud. “Kalau di Jakarta ada tempat main anak yang terpercaya yang sekaligus didalemnya ada salon buat ibu-ibu perawatan pasti aku bakal seneng banget.” Kata Lia, “Dan akan lebih seneng lagi kalau komplit sekalian sama tempat buat bapak-bapaknya nunggu kaya bookstore atau coffee shop, jadi one entertainment stop dimana satu keluarga bisa ngabisin waktu di satu tempat tanpa perlu ke mall.”

Tempat parkir yang sulit dicari di akui Lia bukan suatu halangan baginya meskipun itu termasuk hal yang negatif dari mall, karena Lia sendiri biasanya menggunakan jasa Valet Parking untuk parkir mall. Namun melihat jasa Valet yang sekarang semakin mahal, bahkan mencapai Rp 100.000 untuk mall-mall tertentu, Lia menyadari bahwa ini menjadi salah satu faktor pendukung ia menginginkan hiburan lain di luar mall yang dapat menjawab kebutuhannya sebagai ibu rumah tangga. “Di mall sekarang menurut aku beberapa udah bagus, karena nyediain satu ruangan khusus buat ibu menyusui, ganti popok, tapi masih banyak juga mall yang belum peduli sama hal-hal kayak gitu. Padahal itu penting loh.” Sambungnya.

“Ya tapi sekarang Jakarta materialistis sih, kalau mau enak dan nyaman, ya harus mau bayar lebih juga.” Simpul Lia yang merupakan lulusan Marketing dari Universitas Pelita Harapan ini. Lia berharap Jakarta dapat memperbanyak tempat untuk menjalin hubungan antara ibu-anak, seperti salon ibu-anak dan lain-lain, agar ibu-ibu tetap dapat mendapatkan kesenangannya tanpa harus meninggalkan anak-anaknya di rumah, dan dapat berjalan-jalan dengan hati yang lebih tenang bersama keluarga.


Written by:
Lady Andrea

Jakarta Repose Project #3


"As food tastes better when you eat it with your family, so do places, they looks more beautiful when you share them with your lovely ones." - Anonymous.



Pak Baihaki
36 years old
3rd Informant

Sebagai seorang petugas keamanan, Pak Baihaki selalu disibukkan dengan pekerjaannya, pekerjaan yang menggunakan shift diakuinya tidaklah seringan yang dibayangkan oleh orang-orang. Selain memiliki tuntutan profesi untuk seringkali pulang malam bahkan pagi, Pak Baihaki sendiri mengaku bahwa ia tidak banyak memiliki waktu luang selain akhir pekan. Dengan senggang waktu libur yang tidak banyak itulah ia menyempatkan diri untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya, “Entah ke Ragunan, atau sekedar jalan-jalan ke mall, yang pasti biasanya keluar main kalau akhir pekan.” Ujar ayah dari kedua anak yang sehari-harinya bekerja di sebuah apartemen di bilangan Jakarta Utara ini. Pak Baihaki sendiri mengutarakan bahwa ia jarang memiliki waktu libur yang panjang, sehingga sulit untuk pergi ke tempat-tempat di luar Jakarta, terlebih ia adalah tipe orang yang lebih menyukai beristirahat di rumah dan menonton televisi.

Lalu mengapa ia memilih keluar saat akhir pekan? “Karena keluarga. Saya sudah berada di luar rumah lima hari dalam seminggu, jadi waktu hari sabtu atau minggu saya harus nemenin anak-anak yang biasanya mau main keluar.” Katanya sambil tertawa. “Anak-anak masih SD, jadi maunya main ke mall, saya juga suka ke mall, adem.” Tambah Pak Baihaki. Selain mall, tempat yang seringkali di tuju sebagai tempat rekreasi keluarga lainnya menurut Pak Baihaki adalah Ragunan, karena anak-anaknya yang masih kecil suka melihat binatang-binatang. Fasilitas yang cukup baik dan harga tiket masuk yang terjangkau juga merupakan alasan utama Pak Baihaki memilih kebun binatang Ragunan sebagai tempat hiburan di akhir pekan.

Menurut Pak Baihaki, rekomendasi orang kurang begitu penting baginya, di samping ia akan membuktikan tersebut tentang kualitas suatu tempat, ia juga tetap memperhitungkan jarak dan kebutuhannya di tempat itu. “Kadang-kadang anak saya mau ke mall tapi saya gak turutin, kalau gak ada kebutuhan di mall ya kenapa harus ke mall. Saya kadang ajak mereka ke Ancol dan Monas juga.” Kata Pak Baihaki. Ancol yang merupakan pantai terdekat dari rumah Pak Baihaki merupakan tempat tujuan yang cukup strategis, meskipun diakui olehnya sendiri bahwa pantai Ancol tidak dapat dikatakan sebagai pantai yang bagus, namun ia memilih Ancol karena adanya suasana yang berbeda dari tempat-tempat lainnya. Untuk pergantian suasana, begitu yang diungkapkan Pak Baihaki ketika ditanyakan mengenai alasan memilih pantai Ancol.

Pak Baihaki yang mengaku jarang keluar kota berpendapat bahwa Jakarta sebenarnya sudah cukup baik dan memuaskan baginya, namun karena ia bekerja di Jakarta dan menghabiskan akhir pekannya juga di Jakarta, ia terkadang merasakan kejenuhan dengan kota kelahirannya itu. “Pengen sih sekali-kali ke Bandung atau kota lain, tapi sebenarnya sama aja, kalau orang keseringan ke Bandung juga pada akhirnya akan bosen.”  Tutur Pak Baihaki yang kerap kali melakukan olahraga futsal sepulang kerja ini. Karena keterbatasan waktu, Pak Baihaki mengungkapkan bahwa ia jarang pergi ketempat futsal yang lain, karena selain jauh, kemacetan Jakarta yang cenderung vital ini juga tidak memungkinkan ia melakukan aktivitas lain diluar domisilinya.

“Tempat yang sebenarnya lumayan buat jalan-jalan itu Monas, tapi sayang banyak premannya, jadi kurang aman kalau saya bawa anak.” Lanjut Pak Baihaki yang sekarang tidak lagi sering membawa anak-anaknya ke Monas. Pak Baihaki sendiri mengakui bahwa Monas merupakan tempat strategis untuk diselenggarakannya acara-acara, karena Monas sendiri berlokasi di pusat kota, namun acara yang diadakan harus memiliki relevansi dengan Monas, seperti contohnya Pasar Rakyat, Jakarta Fair, dan acara-acara daerah lainnya. “Asal jangan konser musik.” Tambah Pak Baihaki yang khawatir kerusuhan yang terjadi di konser-konser musik tersebut akan merusak taman Monas yang sebenarnya cukup indah.

Untuk acara-acara lain yang diadakan di tempat yang menjual pemandangan, Pak Baihaki justru merasa kurang tertarik. Ia merasa bahwa itu bukan kebutuhan yang harus dicarinya, namun ia menyarankan agar acara-acara tersebut memiliki harga yang terjangkau, sehingga masyarakat kelas menengah ke bawah juga dapat menikmatinya. “Kalau tempatnya dekat dan bagus untuk keluarga ya mungkin saya akan coba, tapi kalau jauh sih saya gak minat, sulit juga kan waktu, akomodasi, dan budgetnya.”

Pak Baihaki sendiri berharap lebih diperbanyak ruang-ruang terbuka untuk publik agar masyarakat Jakarta memiliki tempat untuk menghabiskan akhir pekan di tempat yang berlokasi outdoor dan tidak melulu ke mall. Tempat-tempat tersebut harus nyaman dan membuat kita dapat berteduh dari hujan dan berlindung dari panas. Dengan adanya tempat-tempat seperti ini, Pak Baihaki berharap masyarakat Jakarta dapat memanfaatkan waktunya dengan lebih kondusif dan maksimal.


Written by:
Lady Andrea